Senin, 28 Maret 2016

Kesibukan saya "Apa?"

Sepertinya sudah lama gak nulis di blog ini lagi. Lebih suka nulis dan baca di lapak sebelah... maafkan saya.
Tadi aku sempat menulis lanjutan ceritaku dilapak sebelah, tapi masih dalam bentuk draft belum finishing. Entahlah, aku merasa jadi tumpul ide dan berkali-kali aku hapus cerita yang sudah aku ketik. ketik hapus lagi ketik hapus lagi.
Aku memang bukan seorang penulis sejati, aku hanya akan menulis ketika aku dalam kondisi mood dan tanpa adanya paksaan dan tekananan, ok aku lebay.
Mau kasih bahasan sedikit disini tentang apasih kesibukan aku (ceuileh gaya amet yah...)
Sempat ada pertanyaan kenapa updatenya lama? kenpa? itu karena aku lagi sibuk dan sok sibuk.
OK, mari kita berkenalan.
Aku seorang wanita (tentusaja), lulus Universitas tahun 2012, nah silahkan tebak usia saya.
Menikah muda di usia yang belum genap 22 tahun waktu itu. Eiiitttsss bukan MBA atau kena kasus kekerasan atau dijual ortu atau dipaksa CEO (Drama banget ini). Aku menikah mudah murni karena keputusanku dan suami yang waktu itu suamiku usianya belum genap 23 tahun (emezing kannnn...).
Tenang saja, suamiku sudah punya pekerjaan yang tetap dan alhamdulillah mapan. Buktinya udah bisa kebeli rumah dan isinya, kendaraan (bukan pamer yah... suwer bukan, biar kalian g meremehkan pernikahan usia muda).
3 bulan menikah, ternyata Tuhan memberikan kepercayaan kepada aku dan suami untuk mendapatkan seorang malaikat kecil yang cantik dan pintar..yupppsss namanya Farani dan aku manggilnya Alani.
Aku bisa dikatakan Mahmud Abas (Mama Muda Anak Baru Satu) hahahaha...
Aku pernah bekerja kurang lebih selama 9 bulanan di perusahaan Alat musik milik jepang. Terus keluar karena nikah dan ikut suami pindah kota yang jauuuuuhhhh dari rumah orangtuaku, fyi yah, perjalanan via mobil membutuhkan waktu 20-24 jam bahkan  bisa lebih. Bayangin tuh, gempor gak tuh pantat.
Aku mengasuh anakku sendiri, no babysitter, no PRT, no orangtua and no Mertua. Mulai dari lahir aku asuh sendiri (Aku hebat kannn...).
Saat ini Alani usianya 1 tahun 4 bulan, aku harus menjaga dan mengawasinya dengan Ekstra ketat karena ia sudah menjelajah kemanapun dan mengambil apa saja yang dapat ia jangkau. Makanya waktuku untuk nulis sangat jarang.
Aku juga memiliki usaha kecil-kecilan, aku seorang crafter, jadi aku memiliki produk yang aku buat sendiri seperti bros, headbandbaby, bandana, kalung, rok anak, rompi and all about quilting. Bayangkan repotnya.
Untuk anak, Rumah, Suami, Menulis dan Craft. Oleh karenanya aku hanya akan bisa menulis ketika malam hari. Aku kan menjadi kalong (ih amit-amit yah... ini ibarat ajah kok) demi pembaca ceritaku yang masih seuprit tapi sangat aku sayang itu.
Sebisa mungkin aku akn menulis dan walaupun updatenya lama, aku akan berusaha untuk selalu update ceritaku.
Nah, itu tadi sedikit tentang apa ajah kesibukanku (sedikit emang ceritannya, panjangan narasinya), semoga kalian memahaminya...

Sampai jumpa dan jangan lupa bahagia...

Tepatkah Pendidikanmu?

Aku bukanlah seorang pengajar, pengamat pendidikan bahkan seorang pakar pendidikan. Aku hanya akan membagi sedikit cerita tentang pendidikan yang pernah aku alami dan sudut pandang yang aku gambarkan saat ini.
Taman Kanak-kanak, sekarang mungkin sudah banyak istilah yang di gunakan seperti PlayGroub, Bimba, Paud dan TK sendiri juga masih cering kita dengar. Aku menghabiskan masa kanak-kanak ku di TK selama hampir 4 tahun, wow lama yah, memang. Bukan karena aku tidak bisa lulus, karena aku masuk TK saat usia ku 3 tahun dan pada saat itu usia minimal untuk masuk TK adalah 5 tahun. Pada waktu itu Playgroub dan Paud masih belum terlalu tenar.
Ternyata bersekolah TK terlalu lama walaupun aku masih sangat kecil tetapi ada sedikit memori di otakku yang masih aku ingat sampai sekarang. Pertanyaan yang selalu aku tanyakan kepada orang tuaku yang tidak pernah memberiku penjelasan pad waktu itu, “Kenapa aku tidak naik kelas ma?”.
Aku sangat mengingat itu, ketika semua teman-temanku bersiap untuk naik ke kelas TK B, aku masih stuck di TK A selama 2 tahun. OK itu tidak terlalu menggangguku, karena aku masih bisa melihat kawan-kawanku. Tetapi berbeda cerita ketika teman-temanku sudah lulus TK dan akan segera melanjutkan ke Sekolah Dasar. Sekali lagi aku sangat mengingat moment itu. Moment dimana ketika semua kawan-kawan ku saling bercerta bahwa mereka membeli buku baru, perlengkapan tulis dan sepatu baru untuk naik ke kelas 1. Aku pun ikut bercerita kalau aku juga akan membeli itu semua. Aku meminta kepada orang tuaku dan mereka hanya bilang “Iya nanti dibelikan.” Tetapi mereka tak pernah menjelaskan hal lain sampai pada saat semua temanku masuk SD dan aku tetap di TK, saat itu usiaku 6 tahun. Terlalu dini kata ibu ku untuk masuk SD sehingga aku mengenyam pendidikan TK B ku sekali lagi.
Sedih, bingung, merasa bodoh itulah yang aku rasakan saat itu, namun aku tak mampu untuk mengatakannya. Aku hanya diam dala kebingungan tanpa adanya penjelasan. Aku menikmati TK B ku sekali lagi. Kadang aku melihat teman-teman ku yang sudah mengenakan seragam SD terlihat sangat bahagia dan aku harus bersabar untuk bisa naik kelas 1 tahun lagi.
Jarak rumahku dengan TK dan SD tidaklah jauh, saling berdempetan yang hanya terpisahkan sebuah tembok atau bisa dikatakan tembok rumahku dan TK itu menyatu. Sepulang dari sekolah TK aku langsung ganti baju dan mengambil buku ku dan pensil lalu pergi ke SD. Aku selalu menghabiskan waktuku untuk belajar sambil berdiri di luar kelas di dekat jendela. Aku memperhatikan dan mengikuti pelajaran yang di berikan oleh guru di dalam kelas. Setiap hari aku melakukan itu, aku merasa sangat mampu dan bisa mengikuti pelajaran itu. Karena bagi ku itu sangat mudah, ingat, aku sudah hampir 4 tahun di TK dan mengulang pelajaran itu saja. Guru di kelas itu sepertinya memperhatikanku dan pernah menyuruhku untuk masuk kedalam kelas tetapi aku tidak mau. Bahkan ada beberapa guru yang bilang ke ayahku untuk menyekolahkan aku langsung di SD saja. Karena aku sudah mampu untuk memahami semua pelajarannya. Aku sudah bisa membaca dan menulis disaat murid kelas 1 SD itu masih sibuk untuk belajar menulis dan membaca. Tetapi ayahku menolaknya karena usia ku masih 6 tahun. Akhirnya suatu ketika ibu dan ayahku mengatakan padaku untuk jangan melakukan itu lagi, berdiri di luar jendela sambil mengikuti pelajaran. Ibuku selalu bertanya aku mau kemana saat aku sudah pulang sekolah TK, takut aku akan melakukan hal itu lagi. Dan pada akhirnya, aku tak pernah melakukan itu lagi.
OK, mari kita bahas untuk permasalahan ini.
Terkadang orang tua menuntut untuk anaknya menjadi yang terbaik diantara yang lain, menyerahkan anak mereka di berbagai lembaga pendidikan dengan maksud kelak anaknya kan lebih unggul dan berprestasi dari yang lain. Sama seperti kasus ku, namun bedanya adalah aku menikmatinya, hanya saja ada sedikit pertanyaan yang membutuhkan penjelasan dan orangtuaku tak memberikannya kepadaku. Memang benar, wawasan seorang anak tentunya kan bertambah dan itu tentu saja berbeda dengan anak-anak lain yang tidak mendapat pendidikan lebih. Tetapi apakah anak menikmatinya, apakah segala ilmu dan informasi yang ia dapatkan akan bertengger lama di otak anak-anak tersebut. Jawabannya ada 2, Iya dan tidak.
Iya, jika memang itu keinginan anak dan anak melakukannya sebagai bentuk passion yang ada dalam dirinya dan orang tua adalah sebagai fasilitator apa-apa kebutuhan yang ingin anak lakukan, tentunya dengan penjelasan baik buruknya, pandangan di kedepannya dan manfaatnya. Tetapi menurut saya, mungkin hanya sedikit anak yang akan melakukan itu. Seperti namanya, ANAK, mereka masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Mereka masih belum mampu memutuskan akan melakukan apa dan apa akibat serta manfaat dari tindakan mereka. Disinilah tugas dan peran orang tua untuk maju sebagai seorang pengarah serta pendukung seorang anak. Ingat, seorang anak tidak hanya bisa diarahkan tanpa adanya sebuah pendukung atau penunjang. Dan anak tidak hanya bisa didukung atau ditunjang (saya menganggap ini sebagai materiel, walaupun gak semuanya dinilai dari dari segi itu) tanpa adanya sebuah arahan.
Tidak, jika itu semua hanyalah obsesi dan keinginan dari orang tuanya. Apakah yang akan orang tua dapatkan dengan memaksa anaknya untuk ikut di segala proses belajar lembaga bimbingan atau ikut segala aktifitas edukatif lainnya? Tidak ada, mereka hanya akan melihat anak mereka tumbuh dalam sebuah tekanan, dalam sebuah kungkungan yang mungkin tak terlihat dan tak mampu terucap oleh mulut-mulut kecil mereka. Karena mereka hanya akan melakukan apa yang orang tua mereka perintahkan. Sekali lagi, mereka belum tahu untuk mengambil sebuah keputusan.
Disini aku sedikit menjelaskan, sebagai orang tua memang tidak ada salahnya untuk mengarahkan anak-anak mereka sesuai keinginan dari orang tua itu sendiri, tetapi perlu diingat, ketika terjadi penolakan dari sang anak dan jelas terlihat anak merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, lebih baik tidak memaksakannya. Orang tua yang peka akan melihat sendiri dimana letak bakat dan minat anak mereka.
Kasus ini pernah terjadi padaku. Aku lebih senang dengan hal-hal yang berbau seni seperti menggambar dan membuat karya seni, aku sedikit kurang dalam urusan bahasa, seperti bahasa inggris. Tetapi apa yang orang tuaku lakukan, mereka menegurku sekali lagi, dan tanpa sadar mereka menghilangkan sebuah impian seorang anak. Aku sering menggambar denah rumah, aku sangat ingin bisa menggambar sebuah denah rumah dengan bagus seperti yang aku lihat di brosur-brosur perumahan. Tetapi orang tuaku menganggap itu hal yang sia-sia, menggambar dapat dilakukan ketika kau merasa senggang dan ketika kau sudah belajar. Aku mengikuti les bahasa inggris dan sampai aku lulus sekolahpun aku tak pernah mampu mengucap bahasa inggris dengan Fluently. Lucu kan?.
Andaikan saat itu orang tuaku mengarahkanku dan mendukungku mungkin kisahku akan berbeda, tapi tetap apapun itu aku bersyukur dengan apa yang sudah aku lakukan.
Itu sedikit gambaran yang pernah aku alami dan mungkin banyak juga dialami oleh anak-anak lainnya. Orang tua terkadang terlalu kolot dengan menganggap bahwa menjadi membanggakan adalah menjadi seorang anak yang mendapatkan nilai sempurna di bidang Sains. Oh god, semoga kita para orang tua dan calon orang tua tidak melakukan itu di generasi berikutnya.
Bukankah itu lucu sekali? Lalu seorang interpreter berpenghasilan jutaan dollar dan seorang seniman dengan harga karya seni yang mahal, seorang designer dunia tidak bisa dianggap membanggakan karena mungkin dulunya mereka bukanlah seorang anak yang ahli atau mendapat nilai sempurna di pelajaran sains mereka?.
Kita tak akan pernah tahu seperti apa masa depan kita nantinya, begitu pula seorang anak. Mereka masih sangat kecil ketika kita beranggapan masa depan mereka akan suram ketika anak itu mendapatkan nilai 5 di semua pelajarannya. Bukankah itu terlalu picik. Setiap anak manusia di lahirkan dengan garis takdir mereka sendiri-sendiri dan perlu dingat kalau bisa di catatat, Tuhan tidak akan menyiak-nyiakan mereka yang berusaha dengan sangat keras dan selalu bersyukur. Aku mulai ngelantur sepertinya.
Inilah mengapa perlunya peran orang tua cerdas dalam mendidik anaknya, tidak melulu menyerahkan semuanya pada pihak sekolah atau lembaga bimbingan belajar. Malah ada yang lebih lucu lagi, kerika seorang anak mendapatkan prestasinya, orang tua akan sangat bangga mengatakan pada semua orang bahwa itu merupakan hasil dari didikan mereka. Padahal mereka selalu sibuk untuk bekerja, sedangkan ketika anak mendapatkan masalah atau terjadi penyimpangan pada anak, orang tua akan mengatakan bahwa ini kesalahan dari pihak sekolah dan menggebu-gebu menuntut pertanggungjawaban. Ingat, sekolah bukanlah satu-satunya jalur pendidikan bagi anak. Ada pendidikan yang tidak bisa diajarkan di sekolah yang hanya bisa di ajarkan dirumah.
Semoga apa yang aku tulis sedikit memberikan gambaran untuk kita sebagai orang tua dan calon orang tua di kemudian hari.


Dan sekali lagi ingat, ini berdasarkan pemikiran yang berasaskan pengalaman pribadi dari penulis. Bukan rekayasa tulisan, rekayasa industry apalagi rekayasa genetika..oh..nooo…